Peran
Jaksa Dalam Membangun Sistem Hukum Nasional
UUD 1945 menentukan secara tegas
bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan
tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
kesejahtraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh
karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan
atas UU No. 15 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. UU Kejaksaan
yang baru tersebut dimaksudkan untuk lebih menetapkan kedudukan dan peran
Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan.
Pelaksanaan
kekuasaan negara dalam UU tersebut harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan
ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan
wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya. Ketentuan ini betujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan
tugas profesionalnya.
Kejaksaan
sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan KKN. Oleh karena itu, Kejaksaan harus mampu
terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan
kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan sistem hukum untuk
mewujudkan masyarakan adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.[1]
serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.[1]
Dalam upaya
pembangunan sistem hukum, sistem hukum tidak dapat dilepaskan dengan penegakan
hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri, termasuk jaksa.
Berikut akan penulis bahas sedikit mengenai sistem hukum dan penegakan hukum.
Sistem
Hukum Dan Penegakan Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum (legal system)
adalah satu kesatuan hukum yang terdiri dari tiga unsur yakni struktur hukum,
substansi hukum, dan kultur hukum. Secara sederhana, struktur hukumberkaitan dengan lembaga-lembaga atau
institusi-institusi pelaksana hukum atau dapat dikatakan sebagai aparat
penegakan hukum. Dalam hal hukum pidana, maka lembaga yang bertugas
melaksanakannya terwujud dalam suatu sistem peradilan pidana (criminal
justice system), yang pada hakikatnya merupakan “sistem kekuasaan
menegakkan hukum pidana” yang terdiri atas kekuasaan penyidikan, kekuasaan
penuntutan, kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan serta kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh
badan/aparat pelaksana/eksekusi.[2] Dalam proses penegakan hukum pidana,
unsur-unsur tersebut terwujud dalam lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
Substansi hukum merupakan keseluruhan asas-hukum,
norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
termasuk putusan pengadilan, dalam hal
substansi hukum pidana di Indonesia, maka induk perundang-undangan pidana
materiil kita adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan induk
perundang-undangan pidana formil (hukum acaranya) adalah Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Unsur ketiga
dalam sistem hukum adalah Kultur hukum yaknikebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum.
Kultur hukum tersebut berada pada masyarakat maupun pada aparat penegak hukum.
Pada prinsipnya, kultur hukum suatu bangsa sebanding dengan kemajuan yang
dicapai oleh bangsa bersangkutan karena hukum suatu bangsa sesungguhnya
merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan.[3]
Friedman
mengibaratkan sistem hukum itu seperti pabrik, dimana “struktur hukum” adalah
mesin, “substansi hukum” adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin
itu dan “kultur hukum” adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu
digunakan.
Dalam sebuah
sistem hukum, aspek penegakan hukum (law enforcement) merupakan
pusat “aktifitas” dalam kehidupan berhukum.Penegakan Hukum dalam arti
luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan
tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui
prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative
desputes or conflicts resolution). sedang dalam arti sempit, penegakan
hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan
terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya—yang lebih sempit
lagi—melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian,
kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.[4]
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat
atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu
masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu
keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang
dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya
apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi
masyarakat.[5]
Dalam kondisi yang demikian ini menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.[6], masyarakat hanya
menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang
dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau
tidak. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun
hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat
setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum
tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat
subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.[7] Adil bagi seseorang
belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Selanjutnya,
Peran jaksa dalam membangun sistem hukum nasional tidak harus selalu dikaitkan
dengan hal-hal yang berhubungan dengan penuntutan di muka hukum. Lain daripada
hal tersebut, peran jaksa dalam pembangunan sistem hukum nasional juga
berhubungan dengan kinerja nya dalam menumbuhkan kesadaran hukum pada
masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan. Karena kesadaran hukum sangat
diperlukan dalam mewujudkan pembangunan sistem hukum nasional. Kesadaran
terhadap berlakunya hukum adalah dasar bagi pengertian terhadap dilaksanakannya
hukum itu sendiri; dan lebih dari itu makin meratanya keasadaran terhadap
berlakunya hukum, makin diperkecil pula kemungkinan untuk menerapkan berlakunya
hukum menurut selera-selera subjektif maupun sosial subjektif.[8]
Oleh
karena itu, pembangunan yang dijalankan guna mengejar keterbelakangan dan
harkat hidup bangsa agar dapat dipandang sejajar bangsa lainnya di dunia, perlu
dilakukan pembangunan sistem hukum yang memadai dengan perkembangan masyarakat
dewasa ini. Hal ini membutuhkan kesungguhan dari segala pihak terutama aparat
penegak hukum termasuk jaksa. Salah satu program yang dilakukan oleh kejaksaan
yakni menyelenggarakan program jaksa masuk desa.
Program
Jaksa Masuk Desa[9]
Sejak
tahun 1981, Kejaksaan RI telah menyelenggarakan program jaksa masuk desa. Dalam
pelaksanaannya melibatkan pula unsur-unsur masyrakat seperti mahasiswa, tokoh
masyarakat, unsur bpemerintah daerah. Dan kegiatan ini terpadu dengan program
ABRI masuk desa dan program-program lainnya.
Yang
menjadi sasaran adalah mayrakat pedesaan yang awam hukum dengan maksud agar
mereka mengenal, memahami dan menghayati hukum sehingga mereka dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan juga memberikan
sumbangsih dalam pembangunan sistem hukum nasional.
Dari
instruksi jaksa agung RI nomor: INS-006/JA/5/1982 tanggal 19 mei 1982 dan
instruksi jaksa agung RI nomor : INS-003/JA/5/193 tanggal 19 mei 1983 tentang
JUKLAK kegiatan penyuluhan hukum dalam rangka peyelenggaraan program jaksa
masuk desa, secara singkat isinya dapat diuaraikan sebagai berikut:
a. Sasaran
dan maksud penyuluhan
Seperti telah
disinggung diatas, yang menjadi sasaran penyuluhan hukum dalam rangka program
jaksa masuk desa adalah masyarakat pedesaan yang awam hukum dengan dasar
pemikiran bahwa kenyataannya masyarakat pedesaan memiliki kelemahan dalam
tingkat pengetahuan hukum, terlebih yang jauh terpencil dipedalaman. Sehingga
banyak diantara mereka menjadi sasaran eksploitasi dari pihak-pihak tertentu
untuk kepentingan pribadi mereka dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan dari
masyarakat tersebut.
b. Tujuan
penyuluhan
Tujuan diadakannya
penyuluhan hukum dalam rangka program jaksa masuk desa aalah untuk mencapai
kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat sehingga masyarakat menyadari dan
memahami efek dari hukum terhadap hak dan kewajibannya selaku warga negara,
sehingga norma hukum dapat diwujudkan dalam sikap dan perilaku kehidupan
sehari-hari. Kemudian dengan meningkatnya kesadaran hukum dari masyarakat pedesaan
diharapkan dapat menunjang dan mendukung keberhasilan penyelenggaraan
pembangunan sistem hukum nasional.
Pembangunan
Hukum di Indonesia[10]
Dalam
suatu masyarakat hukum, fungsi perencanaan dan penang gulangan itu dilakukan
dengan meman faatkan hukum. Pertama, hukum merupakan hasil
penjelajahan ide dan pengalamam manusia dalam mengatur hidupnya. Hukum
merupakan bentuk pengaturan kehidupan manusia yang diyakini sebagai desain
pengaturan hidup manusia yang paling modern dan representatif. Kedua,
terbawa oleh hakekat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat.
Terma suk di dalamnya pengaturan terhadap perubahan yang terjadi , atau yang
hendak dilakukan oleh masyarakat. Ketiga, fungsi mengatur
itu telah didu kung oleh potensi dasar yang terkan dung dalam hukum, yang
melampaui fungsi mengatur, yaitu juga berfungsi sebagai pemberi kepastian,
pengaman, pelindung, dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif
dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Potensi hukum terletak
pada dua dimensi utama dari fungsi hukum, yaitu fungsi preventif dan represif.
Preventif adalah fungsi pencegahan. Fungsi ini dituangkan dalam bentuk
pengaturan pencegahan yang hakekatnya merupakan desain dari setiap tindakan
yang hendak dilakukan oleh masyarakat sedangkan represif adalah fungsi
penanggulangan , yang dituangkan dalam bentuk penyelesaian sengketa atau
pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang diakibatkan oleh risiko tindakan yang
terlrbih dahulu telah ditetapkan dalam perencanaan tindakan itu. Keempat, dalam
isu pembangunan global itu hukum telah dipercaya untuk mengemban misinya yang
paling baru, yaitu sebagai sarana perubahan sosial atau sarana pembangunan.
Kepercayaan ini didasarkan pada kakekat dan potensi hukum sebagai inti
kehidupan masyarakat.
Pembangunan dan
pembaharuan hukum dapat berbentuk rekonstruksi, intensifikasi fungsi, atau
pengembangan fungsi. Rekonstruksi itu dapat berbentuk penggantian, penataan,
pengelolaan, dan pengembangan hukum. Penggantian hukum dilakukakn terhadap
hukum yang telah kekurangan atau kehabisan daya dukungannya. Dalam hal ini
hukum ditempatkan tidak hanya pada makna hukum normatif, melainkan terutama
dalam konteks makna hukum sebagai suatu sistem.
Dalam
pembangunan hukum, terdapat hubungan yang saling mempe ngaruhi yang sangat erat
antara teori hukum, teori pembangunan hukum, konsep pembangunan hukum,
pelaksana an pembangunan hukum, dan hasil pembangunan hukum. Suatu konsep
pembangunan hukum yang didasari teori hukum positif akan terarah pada pemba
ngunan hukum dalam bentuk kodifikasi hukum, atau pembangunan hukum yang
didasari teori hukum kebiasaan akan terarah pada pembangunan hukum dalam bentuk
penggalian asas hukum kebiasaan atau peningkatan fungsi hakim dalam telaah
kasus dan putusannya.
Para penganut
teori hukum positif menyatakan “kepastian hukum” merupakan tujuan hukum. Bahwa
keter tiban atau keteraturan tidak akan ter wujud tanpa adanya garis-garis
perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian
dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk yang pasti pula
yaitu dalam bentuk tertulis. Pendapat tersebut memperoleh dukungan dari
berbagai kalangan ahli hukum karena faktanya memang demikian. Tetapi amatlah
penting meng ingat kembali, kritik yang dilontarkan terhadap bentuk tertulis
itu, bahwa dalam bentuknya ynag tertulis itu hukum dapat dijebak oleh sifatnya
yang kaku sehingga akan sulit mengantisipasi perkembangan atau merekayasa masya
rakat. dengan demikian kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian yang fleksibel,
bukan dalam arti dapat ditafsir secara luas, melainkan bersifat lengkap,
konkret, prediktif, dan antisipatif.
Para penganut
hukum alam mengatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan.
Dianggap nya bahwa satu-satunya tujuan hukum yang terutama adalah keadilan.
Hukum ada atau diadakan adalah untuk meng atur dan menciptakan keseimbangan
atau harmonisasi kepentingan manusia.
Meskipun
demikian ketiga tujuan hukum itu sering diungkapkan secara terpisah dan
dianggap suatu proses yang saling menentukkan satu sama lain, yaitu
“kepastian”, “keteratur an/ketertiban” , dan “keadilan”. Keter aturan tidak
mungkin terwujud tanpa kepastian dan orang tidak akan mungkin mempermasalahkan
keadilan dalam ketidakteraturan. Namun, ketiga tujuan tersebut sering pula
hanya diungkapkan dengan kata “keteraturan”, dengan asumsi behwa tujuan lainnya
itu hanyalah sekedar konsekuensi dari kata keteraturan.
Dalam
perkembangan yang senyatanya, keadilan bukanlah satu-satunya istilah yang
digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum pasca keteraturan. Suatu negara hukum
yang modern (welfare state), tujuan hukum adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat negara itu. Tujuan ini pada
mulanya diintruksikan oleh para penganut aliran hukum Utilitarian, dan dalam
prespektif internasional, hukum bertujuan untuk menciptakan keamanan,
perdamaian, kesejahteraan, keselamatan alam, dan keterlanjutan kehidupan
manusia.
Sistem hukum
tersusun atas sejumlah subsistem sebagai komponen nya yang saling berkaitan dan
ber interaksi sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan pertama di atas.
Namun demikian komponen sistem hukum tersebut adakalanya dipersempit menjadi
tiga unsur, seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kusuma admadja memandang
komponen sistem hukum terdiri dari :
- asas-asas dan kaidah-kaidah;
- kelembagaan hukum;dan
- proses perwujudan kaidah-kaidah
dalam kenyataan.
Schuit sebagai
sosiolog hukum berpendapat bahwa sistem hukum itu dapat dipandang tersusun atas
tiga komponen (subsistem) yaitu ;
1) Unsur idiil yang meliputi kseluruhan aturan,
kaidah, pranata dan asas
hukum, yang dalam peristilahan teori sistem dapat dibcakup dengan
istilah sistem makna atau Sistem Lambang atau Sistem Referensi. Aturan adalah
lambang yang memberikan kesatuan dan makna pada kenyataan majemuk dari perilaku
manusia. Dengan lambang-lambang itu maka dapat dimengerti dan dipahami
kemajemuk an dari perilaku manusia itu, dan dengan itu akan dapat memberikan
arti pada perilaku manusia, sehingga semuanya itu memungkinkan terjadi nya
interaksi antar manusia yang bermakna yang disebut komunikasi.
2) Unsur operasional yang
mencakup keseluruhan organisasi, lembaga dan pejabat. Unsur ini meliputi
badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan aparatnya masing-masing,
seperti birokrasi pemerin tahan, pengadilan, kejaksaan, kepoli sian, advokat,
konsultan, notaris, dan Lembaga Bantuan Hukum.
3) Unsur aktual yang mencakup
keseluruhan keputusan dan tindakan (perilaku), baik para pejabat maupun para
warga masyarakat, sejauh keputusan dan tindakan itu dapat ditempatkan dalam
kerangka Sistem Makna Yuridik.
Pembangunan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam
Kebijakan Pembangunan Lima Tahun Keenam yang ditetapkan dalam GBHN 1993
ditujukan pada semua unsur sistem hukum dalam arti luas, yakni mencakup:
a) Materi hukum yang menunjuk pada unsur idiil sistem hukum (
sistem makna yuridis) atau tata hukum;
b) Aparatur hukum yang perumus annya jelas menunjuk
kepada unsur operasional sistem hukum (kelembagaan hukum) dan unsur
aktual sistem hukum (proses dan budaya hukum);
c) Sarana dan prasarana hukum yang menunjuk pada
penunjang pelaksanaan pembangunan aktua lisasi hukum semua unsur sistem hukum.
Secara formal, sebagian besar pembangunan unsur
operasional (kelem bagaan hukum) sudah dilaksanakan yaitu dengan
diberlakukannya berbagai un dang-undang . Adapun pembangunan hukum yang harus
dilakukan adalah melengkapi kekurangannya serta meng kaji ulang yang sudah
terlaksanauntuk menyemprnakan, baik segi kualitas sub stansi maupun segi kualitas
konsis tensinya..
Sistem hukum nasional harus bersumber dari
sosio-budaya, sistem filsafat atau ideologi bangsa, yang mencerminkan jiwa atau
semangat rakyatnya dan cita hukum bangsa, sebagai penjabaran dari filsafat
negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Secara keseluruhan suatu sistem hukum itu
bermanfaat dan mempunyai kekuatan imperatif. Secara teoretis komponen-komponen
suatu sistem hukum meliputi struktur sistem hukum, yakni kelem bagaan yang
menetapkan dan melaksanakan substansi hukum.
Dalam pembentukan sistem hukum perlu dilakukan secara
sadar dan terarah menurut orientasi ideologis. Dengan demikian Pancasila
sebagai ideologi nasional memberikan ketentuan mendasar sebagai berikut :
1) Sistem hukum dikembangkan berdasarkan
nilai-nilai Pancasila;
2) Hukum bertujuan mewujudkan
keadilan demi kepentingan orang banyak sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat;
3) Sistem hukum berfungsi untuk menjaga dinamika
kehidupan bangsa dan dapat memberikan perspektif ke depan; dan
4) Faktor adat dan tradisi
dapat memberikan sumbangan positif dalam rangka pembentukan sistem hukum
nasional.
[2] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2001, hal. 28.
[3] Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum dalam Perspektif
Politik Hukum Nasional, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, Hal. 27.
[4] Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. “Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di
Indonesia”, Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum”
dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari
2006.
[5] Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan
Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran, http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=3
[7] Sudikno
Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Yoyakarta: Citra Aditya
Bakti, 1993, hal. 2.
[8] Fuad hasan, masalah pembinaan kesadaran hukum, Banacipta, 1975, hlm. 81
[10]
Netty Endrawati.Jurnal sistem hukum dan pembangunan hukum.
Wastu, Volume Khusus, Desember 2007,47-51
0 komentar:
Posting Komentar